"Beri stimulus atau potong stimulus" mungkin merupakan satu pertanyaan yang menghantui banyak pejabat teras bank sentral Eropa dan Amerika Serikat saat ini. Eropa tengah ketakutan kalau-kalau menurunnya inflasi akan mendorongnya terjun ke periode kemunduran seperti yang telah dialami Jepang sejak satu dekade lalu. Sejumlah pihak berpendapat stimulus akan mencegah kejadian itu, tetapi sebagian yang lain tidak setuju. Seperti halnya di AS yang telah menjalankan stimulus moneter selama beberapa tahun, stimulus juga banyak dianggap tak berguna. Stimulus Justru Merusak Pasar Finansial?Gubernur The Fed Dallas, Richard Fisher, kemarin (5/3) mengklaim stimulus telah berlangsung terlalu lama, namun pemerintah AS gagal memanfaatkan momentum itu untuk memperbaiki perekonomian. Fisher yang juga anggota dari tim pengambilan keputusan the Fed, FOMC, ini justru menilai, stimulus telah mengakibatkan munculnya 'bubble' di pasar. Disisi lain, anggota FOMC yang lain seakan masih ragu untuk menentukan langkah. Mereka, seperti halnya pemain pasar, masih bertanya-tanya kenapa data ekonomi AS, khususnya pengangguran, terus-terusan mengecewakan. Testimoni Janet Yellen minggu lalu di Kongres menyiratkan bahwa the Fed baru akan bertindak setelah yakin masalah ketenagakerjaan adalah karena musim dingin, bukan karena perekonomian memburuk. Hal yang sama ditegaskan oleh Eric Rosengren, yang mengatakan bahwa jika ekonomi memburuk gara-gara fundamental ekonomi, maka the Fed takkan ragu untuk menghentikan tapering. Tetapi kata yang aktif disini adalah "jika ekonomi buruk". Kekuatan AS dan Dollar telah digaung-gaungkan sejak awal tahun ini, dan belum ada yang berani merubah asumsi tersebut. Dalam Beige Book yang baru saja dirilis (6/3), The Fed menilai perekonomian tetap tumbuh walau memang, musim dingin yang parah telah menghambat pembukaan lapangan kerja akhir-akhir ini. Isi Beige Book yang merupakan rangkuman laporan kondisi ekonomi terkini AS tersebut bisa dianggap sebagai landasan pengambilan keputusan rapat FOMC mendatang tanggal 18-19 Maret. Oleh karena itu, para ekonom yang dikutip Bloomberg dan Marketwatch sepakat memprediksi The Fed akan mengabaikan data-data buruk di musim dingin ini, serta melanjutkan agenda tapering dalam Rapat FOMC yang akan datang.Pelonggaran Moneter ECBBank Sentral Eropa, ECB, larut dalam dilema yang mirip. Banyak pihak berulang kali memperingatkan pejabat ECB akan kemungkinan deflasi, tetapi belum ada kebijakan pasti untuk mengantisipasinya. Ditambah beban ketegangan geopolitik di wilayah tersebut, maka lengkaplah sudah faktor-faktor yang bisa melumpuhkan Euro. Gambaran Fundamental Euro Maret 2014 Menjelang rapat putusan suku bunga malam nanti, perlu dipahami bahwa langkah apapun yang diputuskan ECB akan sulit menenangkan pergerakan Euro. Dalam pernyataannya kemarin, presiden ECB Mario Draghi menegaskan pihaknya akan terus berusaha untuk menggenjot penyaluran kredit. Itu berarti, "menaikkan suku bunga" sudah bukan opsi lagi. Pilihan lainnya yang tersisa demi mengaspirasi bank agar menyalurkan kredit adalah kebijakan moneter longgar, yaitu antara tiga hal: mempertahankan kebijakan yang sekarang, menurunkan suku bunga, atau menyalurkan skema mirip stimulus. Pendek kata, kecuali Draghi mengatakan sesuatu yang disukai pasar, prospek EUR/USD tidak begitu cerah. EUR/USD memang sempat menguat setelah data inflasi Februari yang ternyata lebih tinggi dari prediksi, tetapi setelah jatuh pasca meletusnya konflik Ukraina, ia belum mampu pulih ke level tinggi yang telah diraih sebelumnya. Perdagangan Euro dengan mata uang lain pun cenderung tak menentu dengan masih belum tercapainya kesepakatan damai di Ukraina.Setelah kekhawatiran akan pertumpahan darah di Ukraina mereda, fokus pasar kembali ke Bank-Bank Sentral. Suku bunga bank sentral Inggris, BoE, dalam putusannya nanti malam diperkirakan tidak bergeming. Tetapi apa yang akan diputuskan ECB satu jam setelahnya jauh lebih susah diprediksi, demikian pula data NFP dan tingkat penggangguran AS besok yang entah akan dipedulikan atau tidak oleh the Fed dalam rapat FOMC-nya.